Selain menguasai Bahasa Jepang, penting bagi pekerja di perusahaan Jepang maupun tenaga kerja asing yang bekerja di Jepang untuk memahami budaya kerja sehari-hari di negara ini. Salah satu budaya yang penting adalah Ojigi, atau seni membungkuk. Seringkali terlihat dalam anime, dorama, atau video Jepang, praktik membungkuk sebelum berpisah menjadi gambaran lumrah dalam interaksi sehari-hari di kota-kota besar seperti Tokyo. Dalam Budaya Jepang, Ojigi bukanlah sekadar tindakan fisik, tapi juga simbol penghormatan masyarakat Jepang satu sama lain.
Jejak Sejarah dan Makna Ojigi
Pada abad ke-3, Jepang mulai menyerap pengaruh dari Tiongkok, termasuk dalam aspek etika sosial dan tata krama. Budaya membungkuk menjadi salah satu nilai yang diperkenalkan dari ajaran Buddha. Ketika konsep agama Buddha meresap ke dalam masyarakat Jepang, praktik ini menjadi lambang status sosial, menggambarkan sikap hormat dan pengakuan atas derajat dan kedudukan orang lain.
Ojigi bukan sekadar gerakan fisik semata, tetapi memiliki makna mendalam dalam penghormatan dan kesopanan. Ajaran Buddha mengajarkan tentang pentingnya penghormatan terhadap orang lain, baik itu secara hierarkis maupun dalam konteks sosial. Membungkuk dianggap sebagai lambang kesopanan, penghargaan, dan kesederhanaan.
Selain itu, praktik membungkuk ini juga menjadi cara untuk menunjukkan bahwa seseorang bukanlah ancaman. Dalam konteks interaksi sosial, membungkuk merupakan cara untuk menunjukkan rasa hormat dan penghormatan kepada orang yang memiliki derajat atau posisi yang lebih tinggi.
Beragam Fungsi Ojigi di Zaman Modern
Seiring berjalannya waktu, budaya membungkuk telah mengalami evolusi dan diversifikasi dalam konteks penggunaannya. Di era modern, praktik ojigi memiliki beragam fungsi. Tidak hanya sebagai tanda penghormatan atau kesopanan, tapi juga sebagai sarana komunikasi non-verbal yang meluas. Dalam kehidupan sehari-hari, ojigi tidak hanya terlihat dalam konteks formal seperti di tempat kerja atau dalam upacara keagamaan, tapi juga dalam situasi-situasi santai atau interaksi sosial biasa.
Praktik ini menjadi bagian integral dalam budaya Jepang yang menggambarkan nilai-nilai seperti kesopanan, rasa hormat, dan kehormatan terhadap orang lain. Meskipun mungkin tampak sederhana, ojigi merupakan bagian penting dari identitas budaya Jepang yang berasal dari akar sejarah yang kaya dan ajaran yang menghargai nilai-nilai sosial. Ritual ini terlihat dalam olahraga sumo, upacara keagamaan, hingga permintaan maaf dalam tingkatan yang berbeda.
Membaca Tingkatan Ojigi dalam Budaya Jepang
Ojigi dibagi dalam dua posisi: berdiri (Ritsurei) dan duduk (Zarei), masing-masing memiliki tiga tingkatan berbeda dalam intensitas membungkuk.
-
Ritsurei:
- Eshaku ( 会釈 ) – 15 derajat: Untuk ucapan terima kasih atau salam di kantor. Jenis bungkukkan ini digunakan pada saat bertemu dengan teman kerja di kantor untuk memberi salam atau ucapan terima kasih atas kerja keras selama dalam bekerja, atau bisa juga pada saat pertama kali bertemu dengan seseorang.
- Keirei ( 敬礼 ) – 30 derajat: Digunakan dalam berterima kasih atau salam di ruang lingkup perusahaan. Jenis bungkukkan ini sering dijumpai dan digunakan pada saat berterima kasih kepada seseorang, pada saat berkenalan dan juga digunakan oleh pegawai toko untuk menyapa para pelanggan. Selain itu sering digunakan pada ruang lingkup perusahaan
- Saikeirei ( 最敬礼 ) – 45 derajat: Bentuk paling formal, digunakan untuk permintaan maaf resmi atau salam hormat kepada yang lebih tinggi, seperti atasan atau Kaisar. Jenis Ojigi ini adalah yang paling formal, digunakan untuk permintaan maaf resmi, meminta bantuan, salam hormat kepada orang yang lebih tinggi derajat atau jabatan, dan orang yang dihormati, seperti mertua, atasan, rekan bisnis serta Kaisar. Paling banyak dijumpai pada zaman dahulu, dalam kehidupan Istana kekaisaran.
-
Zarei:
- Zarei yaitu salah satu jenis Ojigi yang dilakukan dalam keadaan duduk. Jenis Ojigi ini jarang digunakan, biasanya hanya digunakan untuk acara keagamaan seperti dalam beribadah atau acara-acara bela diri. Ada juga digunakan dalam bentuk permintaan maaf, apabila sudah melakukan kesalahan besar. Zarei biasanya dilakukan pada zaman dahulu, sebagai bentuk penghormatan kepada Raja atau Kaisar.
Menerapkan Ojigi dalam Lingkungan Kerja
Meski aturan ojigi mungkin sulit dipelajari sepenuhnya, penting untuk memahami konteks dan intensitas yang tepat. Di lingkungan korporat, penggunaan ojigi sangatlah penting, karena memberikan sinyal tentang tingkat penghargaan, status, dan kesopanan. Semakin formal atau tinggi kedudukan lawan bicara, semakin dalam dan lama ojigi dilakukan. Ojigi yang dangkal mungkin terasa kurang sopan atau kurang menghargai situasi tertentu.
Ojigi juga merupakan simbol penghormatan yang mendalam. Hal ini menunjukkan kesediaan untuk mengakui kedudukan atau kelebihan orang lain. Dalam konteks perusahaan, penggunaan ojigi mencerminkan etika kerja yang kuat dan kesediaan untuk mempertahankan hubungan yang harmonis. Bagi orang asing atau mereka yang baru belajar budaya Jepang, memahami dan memperhatikan tanda-tanda non-verbal seperti ojigi akan membantu dalam berinteraksi dengan lebih baik di lingkungan kerja.
Penting untuk diingat bahwa budaya tidaklah statis. Meskipun aturan ojigi tampak kompleks, ada juga fleksibilitas dalam adaptasinya. Orang Jepang umumnya menghargai upaya dari orang asing untuk memahami dan menghormati budaya mereka. Keinginan untuk belajar dan menghormati nilai-nilai budaya akan dihargai meskipun tidak sempurna.
Kesimpulan
Ojigi bukan sekadar gestur, tapi representasi dari nilai penghormatan dan kesopanan yang dalam dalam budaya Jepang. Penggunaannya dalam konteks profesional menandakan kesediaan untuk menjaga etika kerja yang baik, membangun hubungan yang harmonis, dan menunjukkan kesopanan serta penghargaan terhadap kolega atau atasan.
Meskipun sulit untuk sepenuhnya memahaminya, kesadaran akan praktik ini akan membantu berinteraksi dengan lebih baik di lingkungan kerja Jepang. Mempelajari dan memahami ojigi memungkinkan seseorang untuk berintegrasi dengan lebih baik dalam lingkungan kerja Jepang, membantu menjalin hubungan yang baik, dan membangun citra profesional yang positif di mata kolega dan rekan bisnis.